Di Balik Dinding Kampus: Dinamika Ideologis Mahasiswa Muslim ITB
|
Institut Teknologi Bandung (ITB) telah lama menjadi simbol keunggulan akademik di Indonesia. Setiap tahun, ribuan anak muda berbakat datang dari seluruh penjuru negeri dengan harapan dan cita-cita besar. Namun, kehidupan kampus bukan hanya soal perkuliahan dan teknologi. Di balik hiruk pikuk akademik, terdapat dinamika spiritual dan ideologis yang kadang tak terlihat namun sangat mempengaruhi perjalanan mahasiswa, khususnya mahasiswa muslim ITB.
Sebagai kaum intelektual muda, mereka menghadapi tantangan
ganda: menyeimbangkan antara tuntutan akademik yang tinggi dengan pencarian
identitas keagamaan yang otentik. Dalam proses ini, tempat seperti asrama mahasiswa ITB seringkali menjadi saksi dari pencarian panjang itu—antara
bimbingan dan jebakan.
Asrama: Ruang Tumbuh yang Tak Selalu Aman
Bagi banyak mahasiswa perantauan, asrama menjadi rumah
kedua. Selain menjadi tempat beristirahat dan belajar, asrama mahasiswa ITB
juga menjadi ruang tumbuh bagi nilai-nilai dan identitas diri. Tidak sedikit
mahasiswa yang pertama kali mengenal kajian keislaman, diskusi tafsir, hingga
komunitas dakwah dari interaksi di dalam asrama.
Namun di sisi lain, kondisi ini juga menjadi celah masuknya
kelompok-kelompok dengan ideologi tertentu yang menamakan dirinya sebagai
“jamaah Islam”, tapi dalam praktiknya mengajarkan eksklusivisme, ketakutan,
bahkan mengarah pada doktrin yang menyimpang. Beberapa dari kelompok ini tidak
hanya mendorong praktik ibadah, tetapi juga mengikat mahasiswa dengan baiat,
infaq wajib dalam jumlah besar, dan narasi bahwa hanya kelompok mereka yang
benar.
Di sinilah mahasiswa muslim ITB harus waspada. Niat
baik mencari lingkungan islami dan teman seiman bisa disalahgunakan oleh
kelompok-kelompok yang membawa agenda politik, kekuasaan, atau bahkan
infiltrasi ideologi yang lebih besar.
Antara Idealitas dan Realitas
Bagi sebagian mahasiswa, semangat untuk menjadi bagian dari
perubahan Islam di masyarakat menjadi sangat tinggi saat pertama kali masuk
kampus. Terinspirasi oleh tokoh-tokoh besar, buku-buku ideologis, serta
semangat ukhuwah dalam komunitas baru, mereka merasa telah menemukan kebenaran
yang selama ini dicari.
Namun, semangat yang membara tanpa bimbingan keilmuan dan
bimbingan yang sehat bisa berubah menjadi jebakan. Banyak mahasiswa yang mulai
membatasi diri dari dunia luar, menolak diskusi terbuka, hingga menilai orang
lain sebagai “kafir”, “munafik”, atau “tidak dalam jalan yang haq”.
Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan: antara ruh dan
akal, antara ibadah dan muamalah, antara teks dan konteks. Jika salah satunya
diabaikan, maka jalan yang diambil bisa melenceng jauh dari ajaran Rasulullah ﷺ.
Mahasiswa Muslim dan Tantangan Dakwah Sehat
Mahasiswa muslim ITB punya posisi strategis. Mereka
memiliki akses pada ilmu, jaringan sosial, dan semangat perubahan. Namun posisi
ini juga membawa tanggung jawab besar: menjaga keaslian ajaran Islam dan
menghindari penyimpangan. Menjadi muslim di kampus tak cukup hanya ikut-ikutan.
Dibutuhkan pemahaman yang benar terhadap ajaran agama, serta kemampuan untuk
berpikir kritis terhadap setiap ajakan dan doktrin.
Misalnya, jika ada kelompok yang mewajibkan infaq 10% dari
penghasilan tanpa transparansi, atau melarang mahasiswa berhubungan dengan
keluarganya yang tidak sepaham, maka perlu dipertanyakan: apakah ini Islam yang
rahmatan lil ‘alamin, atau bentuk fanatisme ideologis yang menyimpang?
Kunci utama bagi mahasiswa adalah ilmu. Sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an: “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS Az-Zumar: 9). Dengan ilmu,
mahasiswa bisa menimbang ajakan, membedakan mana yang haq dan batil, serta
melawan doktrin yang dibungkus agama namun sejatinya menyimpang dari
nilai-nilai Islam.
Membangun Ruang Aman di Lingkungan Kampus
Kampus dan pihak pengelola asrama mahasiswa ITB perlu
mengambil peran aktif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan
spiritual yang sehat. Program mentoring, kajian terbuka, dan pelatihan literasi
keagamaan dapat menjadi bagian dari upaya pencegahan penyebaran ideologi
tertutup.
Di sisi lain, mahasiswa senior juga dapat menjadi pembimbing
bagi adik tingkatnya. Bukan dengan menakuti atau memaksakan doktrin, tetapi
dengan memberi teladan, membuka ruang diskusi yang ilmiah, serta memberikan
rujukan kajian Islam dari sumber terpercaya. Dalam konteks ini,
organisasi-organisasi dakwah resmi di ITB, seperti Lembaga Dakwah Kampus atau
komunitas masjid Salman, memiliki peran besar dalam membina mahasiswa muslim
ITB agar tidak terjebak dalam eksklusivisme dan pemahaman yang sempit.
Menjadi Muslim Progresif: Islam yang Kritis dan Peduli
Islam bukanlah agama yang anti kritik atau anti logika.
Justru Islam mendorong pengikutnya untuk tafakkur, tadabbur, dan i’tibar—merenungkan,
mempelajari, dan mengambil pelajaran dari sekelilingnya. Oleh karena itu,
menjadi mahasiswa muslim ITB harus pula berarti menjadi pribadi yang
berpikir kritis, berani bertanya, dan terus belajar.
Menjadi religius bukan hanya soal berpenampilan syar’i atau
rajin mengikuti halaqah. Tapi juga tentang keberanian untuk berdiri di atas
prinsip, menyuarakan kebenaran, dan menolak ajaran yang menyesatkan walaupun
datang dalam bungkus islami.
Penutup
Kehidupan kampus adalah masa yang penuh pencarian,
pembentukan jati diri, dan pengasahan intelektual. Bagi mahasiswa muslim ITB,
perjalanan ini tak hanya soal menjadi ahli teknologi, tetapi juga menjadi insan
yang beriman dan berintegritas. Maka dari itu, mereka harus bisa menjaga diri
dari jebakan ideologi menyimpang yang bisa saja tumbuh di tempat tak terduga,
termasuk di asrama mahasiswa ITB.
Dengan bekal ilmu, lingkungan yang mendukung, dan niat yang
lurus, mahasiswa muslim bisa menjadi agen perubahan sejati—yang tidak hanya
pintar secara akademik, tapi juga cemerlang secara spiritual.
0 comments:
Posting Komentar